KEPEMIMPINAN SBY
Gaya Kepemimpinan SBY Masih
Mengambang
Janji pemerintah di bawah Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk memperbarui gaya
kepemimpinan terkait rencana perombakan kabinet, dinilai masih mengambang. Saat ini rakyat membutuhkan
kerja nyata yang memihak mereka, bukan sekadar wacana.
Penilaian itu disampaikan
Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo. Dia menanggapi pernyataan
pemerintah. terkait rencana perombakan Kabinet Indonedia Bersatu II. Ketika
menjelaskan target dari rencana reshuffle kabinet pada Oktober mendatang, kantor
kepresidenan menjelaskan bahwa Presiden berniat menerapkan gaya baru dalam
pemerintahannya. Dijelaskan bahwa gaya baru itu diperlukan untuk mengakselerasi
perubahan.
Menurut Bambang Soesatyo,
pernyataan soal gaya pemerintahan baru itu masih mengambang alias tidak jelas.
"Siapa yang bisa mencerna dan memaknai dengan tepat bunyi kalimat 'gaya
baru memerintah' dan 'akselerasi perubahan' itu? Mungkin tidak banyak, karena
serba abu-abu, mengambang, dan bahkan praktis belum bermakna apa pun. Itu lebih
merupakan permainan kata-kata agar terlihat gagah dan konseptual,"
katanya.
Gaya memerintah adalah persoalan yang tidak mendesak
untuk diwacanakan di ruang publik. Apalagi, niat untuk menerapkan gaya baru pemerintahan itu, berarti ada masalah dengan gaya pemerintahannya saat
ini. Sejauh ini, lanjut Bambang, publik hanya paham bahwa pemerintahan di bawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sekarang lamban dalam merespons
berbagai persoalan. Beberapa kementerian bahkan terbelit skandal korupsi. Soal akselerasi
perubahan, juga kurang jelas maksudnya.
Pertanyaannya, ungkap
Bambang, perubahan apa yang ingin segera diwujudkan sepanjang sisa waktu tiga
tahun pemerintahan Yudhoyono-Boediono? Menegakkan hukum yang sudah demikian
karut marut? Atau, merevitalisasi potensi ekonomi nasional yang merosot, akibat
adopsi liberalisasi pasar tanpa pelindungan atas kepentingan nasional? "Tuntutan
rakyat kepada Presiden Yudhoyono dan Boediono sangat sederhana, yaitu memberi
bukti bahwa pemerintahan mereka pro-rakyat," ucap Bambang.
Gagal Menegakkan Hukum dan HAM
Tanggal 20 Oktober 2011, pemerintahan SBY-Boediono genap
berusia dua tahun. Berbagai kalangan menilai, SBY telah gagal melakukan
perubahan terutama dalam bidang hukum dan HAM. Dalam hasil survey yang
disampaikan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) masyarakat menilai buruk
kinerja pemerintahan SBY dalam bidang dalam ekonomi, hukum, politik dan
persoalan luar negeri. “Publik menilai kinerja pemerinthan SBY selama dua tahun
di enam bidang, ekonomi, politik, hukum, sosial dan luar negeri mendapat raport
merah.
Penilaian yang sama juga di
sampaikan oleh Sunardi Panjaitan, Ketua Komisi Hukum dan HAM PB HMI. Menurutnya dua tahun kepemimpinan SBY-Boediono telah
gagal dalam melakukan reformasi di bidang hukum dan penegakan HAM. Janji-janji yang disampaikan oleh SBY-Boediono
sewaktu kampanye pada tahun 2009 lalu, masih jauh panggang dari api.
“Setelah dua tahun berjalan,
janji-janji kampanye SBY-Boediono hingga saat ini masih jauh panggang dari api.
Di bidang hukum, SBY-Boediono telah gagal dalam menegakkan supremasi hukum.
Berbagai megaskandal korupsi yang terjadi selama pemerintahan SBY-Boediono tak
pernah mampu diselesaikan. Salah satunya adalah skandal korupsi Bank Century,
Skandal Korupsi Pembangunan Wisma Atlet di Palembang, Sumatera Selatan, serta
berbagai kasus besar lainnya yang tidak selesai hingga hari ini. Agenda
pemberantasan korupsi hanya menyeret “tikus-tikus kecil”. Sehingga janji
SBY-Boediono untuk menegakkan hukum secara adil, transparan dan tak pandang
bulu tidak pernah terpenuhi hingga saat ini,” ujarnya dalam keterangannya.
Sementara di bidang HAM, semasa
pemerintahan SBY-Boediono, masih sering terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM
baik yang dilakukan oleh militer dan aparat pemerintahan. “Belum lagi
kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu juga tidak pernah dituntaskan oleh
pemerintahan SBY-Boediono, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II, peristiwa
Mei 1998, Talangsari, penghilangan orang secara paksa periode 1997/1998 serta
yang lainnya. Hingga saat ini berbagai kasus tersebut mandeg di Kejaksaan
Agung,” ungkapnya
Dengan berbagai kegagalan tersebut, menurutnya, sebaiknya
SBY-Boediono mundur dari kursi Presiden dan Wakil Presiden. “Kami menuntut
SBY-Boediono untuk mundur karena telah gagal dalam menjalankan amanat reformasi
yang telah berjalan 13 tahun,” ujarnya.
Kegagalan SBY dalam penegakan hukum dan HAM bisa
dibilang masuk akal. mana kala kita saksikan bersama dari hasil reshuffle
Kabinet jilid II, justru menteri yang dipertahankan adalah yang bermasalah. Sebut
saja Muhaimin Iskandar, terkait dengan suap sebesar Rp1,5 miliar yang
melibatkan pengusaha Dharnawati dan dua anak buahnya di Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi. Yakni Kepala Bagian Perencanaan dan Evaluasi Dadong
Irbarelawan serta Sekretaris Dirjen di Ditjen Pembinaan Pengembangan Kawasan
Transmigrasi (P2KT) Kemenakertrans I Nyoman Suisnaya.
Selain Muhaimin Iskandar, yang
lain yaitu Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng. Menteri asal Partai
Demokrat ini diindikasi terlibat kasus pembangunan Wisma Atlet SEA Games di
Palembang. Ini lebih diperparah lagi, karena bukan saja melibatkan Andi
Malarangeng. Tapi juga menyentuh pimpinan tertinggi Partai Demokrat, di mana
SBY adalah ketua dewan pembinanya. Kasus lain juga terjadi terkait skandal
pembelian pesawat Merpati dari Tiongkok yang melibatkan Menteri Perdagangan
Marie Elka Pangestu serta pembelian garam dari luar negeri.
Penilaian yang sama juga
disampaikan Fitra Alfarisi, ketua umum HMI Cabang Bandarlampung, dalam orasinya
memeringati dua tahun kepemimpinan SBY-Boediono. Ia menguraikan, dua tahun
kepemimpinan SBY-Boediono telah gagal dalam melakukan reformasi di bidang hukum
dan penegakan HAM. Janji-janji yang disampaikan oleh SBY-Boediono sewaktu
kampanye pada 2009 jauh panggang dari api. Padahal, jika kita menengok ke
belakang, janji kampanye SBY-Boediono berjudul ’’Membangun Indonesia yang
Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan: Visi, Misi, dan Program Aksi’’
dijelaskan bahwa SBY dalam kebijakannya akan memprioritaskan 13 program aksi.
Salah satunya program penegakan hukum.
Sungguh sangat memprihatinkan
setelah dua tahun berjalan, janji-janji kampanye SBY-Boediono hingga kini jauh
panggang dari api. Di bidang hukum, SBY-Boediono telah gagal dalam menegakkan
supremasi hukum.
Berbagai megaskandal korupsi
yang terjadi selama pemerintahan SBY-Boediono tak pernah mampu diselesaikan. Di
antaranya korupsi Bank Century dan pembangunan Wisma Atlet di Palembang,
Sumatera Selatan. Agenda pemberantasan korupsi hanya menyeret ’’tikus-tikus
kecil’’. Sehingga, janji SBY-Boediono untuk menegakkan hukum secara adil,
transparan, dan tak pandang bulu tidak pernah terpenuhi hingga kini.Sementara
di bidang HAM, semasa pemerintahan SBY-Boediono, sering terjadi
pelanggaran-pelanggaran HAM. Baik yang dilakukan oleh militer maupun aparat
pemerintahan
Politisi PPP Kritik Gaya Kepemimpinan SBY
Sekretaris Jenderal PPP,
Muhammad Romahurmuziy, menilai ada kemajuan di bidang ekonomi Indonesia. Namun,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak optimal menyampaikan kemajuan
tersebut ke rakyat karena kepemimpinannya bersifat desentralistik.
"Ekonomi kita relatif
kebal terhadap krisis ekonomi global," kata Romy dalam sebuah diskusi
tentang 'Reshuffle dan Masa Depan Pemerintah SBY', Ketua Komisi IV DPR RI itu
menjelaskan ekonomi Indonesia masuk dalam 17 besar kekuatan ekonomi dunia saat
ini. Kegagalan komunikasi SBY
ini, kemudian harus ditanggung oleh para menteri karena tipe kepemimpinan
desentralistik yang dimiliki oleh SBY. Menurut Romy, tipikal kepemimpinan
seperti itu membuat para menteri menanggung penuh bidang kementerian
masing-masing
Sementara itu, pengamat
politik Universitas Indonesia Ibramsyah mengatakan persoalan reshuffle dan
keberhasilan kabinet menjalankan fungsinya tergantung pada SBY sendiri.
Menurutnya, pergantian menteri tidak terlalu bermanfaat jika SBY tidak mengubah
karakternya.
Masalah bukan pada menteri.
Presiden adalah kepala negara, lambang negara dan pemersatu. Dia tidak usah
berkompromi macam-macam. Kedua, dia adalah kepala pemerintahan. Sistem
presidensial kita sudah sangat kuat sekali," ujarnya.
Lemahnya Kepemimpinan SBY
Ketua Komunitas Glodok Hermawi F Taslim mengatakan, kepemimpinan presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sangat lemah. Khususnya dalam penanganan keamanan dan ketertiban
masyarakat. "Kepemimpinan SBY yang lemah secara kamtibnas, dan ini tentu
akan berpengaruh terhadap kepemimpinannya,"
Hermawi menambahkan, hal itu akan sangat berpengaruh pada kekuatan SBY dan
partai Demokrat di pemilihan 2014 mendatang. Bagi dia, memang untuk menentukan
pemimpin tidak lagi berpatokan pada persoalaan etnitas, namun pandangan publik
terhadap kepemimpinan SBY yang sudah absen terhadap keamanan masyarakat
sangatlah sulit untuk mendongkrak popularitas SBY dan partainya. "Memilih
pemimpin memang tidak melihat etnisnya, tapi jika melihat kekecewaan rakyat dan
absenya negara dalam melindungi rakyatnya dalam persitiwa-peristiwa yang
menyangkut keamanan saya menduga SBY tidak sudah tidak bisa lagi,"
imbuhnya. "Saya duga kekuatan SBY di 2014 jauh akan lebih kecil dari sekarang,
karena kekecewaan orang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,"
pungkasnya.
Lemahnya Kepemimpinan SBY di Mata Publik
Yang terpenting dari figur seorang presiden
adalah soal kepemimpinan. Kepemiminan dalam arti mengelola negara dengan
tangkas, tegas dan sigap. Itu artinya seorang presiden tidak hanya pandai dalam
melontarkan wacana (kebijakan), tapi juga selaras dalam hal eksekusinya
(praktik). Jika
presiden mengatakan akan memerangi korupsi, maka ia harus mampu melakukannya.
Tipe kepemimpinan seperti ini telah menjadi harga mati dari seorang presiden
yang diharapkan oleh publik.
Pertanyannya adalah bagaimana dengan
tipe kepemimpinan SBY. Apakah SBY telah menunjukkan karakter sebagai strong
leader atau justru sebaliknya. Jika merujuk pada kasus Nazarudin, SBY nampak
terlihat begitu lembek. Sikap SBY yang enggan untuk memerintahkan aparat hukum
ataupun petinggi Partai Demokrat agar melakukan penjemputan paksa terhadap
Nazaruddin di Singapura menunjukkan lemahnya kepemimpinan SBY. Akibatnya publik
menduga, kalau Nazarudin itu memegang kunci yang dapat membuka pintu rahasia
keuangan “Petinggi dan Partai Demokrat”.
Karena kasus Nazarudin, berdasarkan
survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 1-7 Juni 2011,
publik mempersepsikan Partai Demokrat secara negatif dan pada periode yang sama
pula (Juni 2011), publik pun juga mempersepsikan lemahnya kepemimpinan SBY
karena ketidakpuasan terhadap aneka kasus yang gagal di selesaikannya.
Ketidakpuasan Publik
Untuk pertama kalinya sejak tahun
2009, tingkat kepuasan pemilih atas kinerja Presiden SBY turun di bawah 50%.
Bila dibandingkan dengan Survei LSI pada periode januari 2011, tingkat kepuasan
atas kinerja SBY di bulan Juni 2011 turun 9.5%, dari 56.7% (Januari 2011)
menjadi 47.2% (Juni 2011).
Demikianlah salah satu temuan survei
yang dilakukan oleh LSI pada awal Juni 2011 (Pengumpulan data dilakukan pada
1-7 Juni 2011). Sampel diambil
secara acak dengan Jumlah responden sebanyak 1200, mewakili 33 provinsi,
berdasarkan standard multi-stage random sampling. Wawancara dilakukan dengan
tatap muka, sehingga mencakup seluruh populasi dan margin of error sebesar plus
minus 2.9%.
Merosotnya tingkat kepuasan publik atas SBY
dapat dilihat dari aneka segmen. Bila dilihat dari distribusi pemilih di
tingkat desa dan kota, menunjukkan bahwa kepuasan pemilih atas kinerja SBY di
kota sebesar 38.9%, jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kepuasan publik
di desa sebesar 52.5%. Begitupula dengan kepuasan pemilih pada segmen
pendidikan menunjukkan kepuasan publik yang berpendidikan tinggi jauh lebih
kecil (39.5%) bila dibandingkan kepuasan publik setingkat SLTP ke bawah (di
atas 50%). Itu berarti, pemilih di kota
dibandingkan di desa dan yang berpendidikan tinggi dibandingkan yang
berpendidikan SLTP ke bawah, memang lebih punya akses ke informasi, dan lebih
kritis.
Survei LSI juga menunjukkan terjadinya
peningkatan ketidakpuasan publik terhadap dinamika keadaan nasional jika
dibandikan antara bulan Januari 2011 dan Juni 2011. Dari aspek ekonomi, ketidakpuasan
publik meningkat dari 32.4% (Januari 2011) ke 35.7% (Juni 2011). Aspek politik
juga sama dari 24.4% (Januari 2011) ke 33.9% (Juni 2011). Begitupula dengan
aspek penegakan hukum, dari 31.2% (Januari 2011) ke 33.1% (Juni 2011). Dan
dalam aspek keamanan, dari 11.4% (Januari 2011) ke 14.9% (Juni 2011). Meningkatnya
ketidakpuasan publik di atas merupakan protes terhadap lemahnya kepemimpinan
SBY dalam menangani persoalan-persoalan bangsa.
Dari hasil survei di atas, berdasarkan depth
interview yang dikembangkan, setidaknya terdapat empat persoalan penting yang
dapat dianalisis.
Pertama. Banyak kasus yang tak
tuntas selama era kepemimpinan SBY. Komunitas Hak Asasi Manusia memiliki kasus
pembunuhan Munir. Komunitas politik memiliki kasus Bail Out Bank Century;
Komunitas pro keberagaman agama dan pluralisme memiliki kasus kekerasan atas
Ahmadiyah dan Komunitas anti korupsi memiliki kasus Nazarudin. Dari keempat
kasus tersebut, tidak satupun kasus yang berhasil diselesaikan oleh SBY,
meskipun telah berjanji akan menuntaskannya.
Kedua, SBY dipandang reaktif dan terlalu
sering “curhat” untuk kasus yang menurut publik sepele. Sebagai contoh, SBY
dinilai publik terlalu reaktif dalam merespon pesan pendek SMS yang memojokkan
dirinya. Publik juga kecewa atas berbagai “curhat” yang dilontarkan oleh SBY,
seperti curhat gaji Presiden SBY yang tidak naik selama 7 tahun dan curhat soal
dirinya yang direpresentasikan sebagai Kerbau dalam sebuah aksi demo. Padahal
idealnya, publik lah yang seharusnya menyampaikan “curhat” kepada presiden.
Ketiga, SBY tidak memiliki operator politik
yang kuat. Dari 4 operator presiden (Wakil presiden, Partai Demokrat, Kabinet,
dan Setgab Partai), tidak satupun yang mampu membantu presiden secara optimal. Wakil
Presiden Boediono bukanlah tipe orang yang berani mengambil inisiatif dalam hal
kebijakan. Berbeda dengan Jusuf Kalla yang dipandang sebagai wakil Presiden
dengan tipe pendobrak, lincah dalam mengambil peran untuk membantu presiden. Menteri
pun tidak mampu melakukan kerjanya secara baik, akibatnya adalah Presiden SBY
dipandang gagal dalam mengarahkan para pembantunya. Partai Demokrat juga tidak
memiliki kekuatan. Itu dikarenakan ketua umum Partai Demokrat tidak memiliki
kewenangan sebesar ketua umum partai-partai lain. Setgab koalisi partai pun
sama, tidak solid dan padu dalam mengoperasikan kebijakan SBY. Karena
masing-masing partai memiliki kepentingan politik yang berbeda.
Keempat, SBY dinilai tidak berdaya dalam menangani kasus Nazarudin
(mantan bendahara umum dan anggota DPR dari partainya sendiri). Terus
dibiarkannya kasus Nazarudin bergulir tanda adanya penyelesaian hukum, publik
akan menilai SBY telah keluar dari jalur perjuangannya sebagai presiden yang
berani mengatakan tidak pada korupsi.
Selama
Tujuh Tahun Kepemimpinan SBY, Uang Negara Telah dirampok Rp. 103,19 Triliun.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selama
tujuh tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditemukan
penyimpangan anggaran sebesar Rp 103,19 triliun.
"Dari temuan yang direkomendasi BPK ini,
baru Rp 37,87 triliun yang ditindaklanjuti," papar Sekjen Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan.
Lebih lanjut
Yuna memaparkan, terdapat Rp 17,93 triliun penyelesaian kerugian negara yang
harus diselesaikan, namun negara baru mampu mengangsur Rp 1,8 triliun.
"Dan dari 305 kasus senilai Rp 33,6 triliun yang diserahkan ke penegak
hukum, sebanyak 139 kasus yang masih ditindaklanjuti," tambahnya.
Penyimpangan
anggaran yang Yuna sebut sebagai perampokan uang negara itu menjadi bukti bahwa
selama tujuh tahun menjabat jadi presiden, SBY tidak mampu memimpin. Dia pun mengkritik langkah
pemerintah yang terkesan sepele menanggapi temuan BPK.
"Sekarang ini, temuan audit BPK seolah menjadi ritual prosedur tahunan
saja dan tidak memberikan efek jera pada perampok anggaran tersebut. Padahal, audit
BPK itu bisa menjadi bahan atau dasar untuk menindaklanjuti perampokan uang
negara yang selama ini terjadi," jelasnya. Fitra menduga para aktor utama
di balik permainan anggaran yang terjadi sebagian besar adalah elite politik
baik di parlemen maupun di kementerian. "Karena mereka yang duduk di
parlemen dan yang di kementerian namun berasal dari parpol tertentu memang
dituntut untuk menghidupi partai politiknya dengan merampok uang rakyat dari
APBN," tambahnya.
Terkait kondisi anggaran yang carut marut tersebut, Fitra mendesak
pemerintah memperbaiki mekanisme pembahasan anggaran baik di lingkungan
birokrasi maupun di DPR. Tujuannya untuk menutup peluang berkeliarannya para
perampok uang negara tersebut. "Karena carut marutnya proses penganggaran
itu hanya akan menguntungkan para elit politik secara leluasa memburu rente
anggaran secara sistematis maupun masif pada setiap tahapan penganggaran dan
struktur anggaran," tandasnya.
DAFTAR ISI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar